BAB 1
Keikhlasan Dan Menghadhirkan Niat Dalam Segala Perbuatan, Ucapan Dan Keadaan Yang Nyata Dan Yang Samar Allah Ta'ala berfirman:
"Dan
tidaklah mereka itu diperintahkan melainkan supaya sama menyembah Allah, dengan tulus ikhlas
menjalankan agama untuk-Nya semata-mata, berdiri turus dan menegakkan shalat
serta menunaikan zakat
dan yang sedemikian itulah agama yang benar." (al-Bayyinah: 5) Allah Ta'ala
berfirman pula:
"Samasekali
tidak akan sampai kepada Allah daging-daging dan darah-darah binatang kurban itu, tetapi akan
sampailah padaNya ketaqwaan dan engkau sekalian."
1 (al-Haj: 37)
Allah Ta'ala
berfirman pula: "Katakanlah
- wahai Muhammad
2 ,sekalipun
engkau semua sembunyikan apa-apa yang ada di dalam hatimu
ataupun engkau sekalian tampakkan, pasti diketahui juga oleh Allah."
(ali-lmran: 29)
1. Dari Amirul
mu'minin Abu Hafs yaitu Umar bin Al-khaththab bin Nufail bin Abdul
'Uzza bin Riah
bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin 'Adi bin Ka'ab bin Luai bin Ghalib
al-Qurasyi al-'Adawi r.a. berkata: Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda
3 : "Hanyasanya
semua amal perbuatan itu dengan disertai niat-niatnya dan hanyasanya bagi setiap orang itu
apa yang telah menjadi niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya itu kepada
Allah dan RasulNya,
maka hijrahnya itupun kepada Allah dan RasulNya. Dan barangsiapa yang hijrahnya itu untuk harta
dunia yang hendak diperolehinya,ataupun untuk seorang wanita yang hendak dikawininya,
maka hijrahnyapun kepada sesuatu yang dimaksud dalam hijrahnya itu."
(Muttafaq
(disepakati) atas keshahihannya Hadis ini) Diriwayatkan
oleh dua orang imam ahli Hadis yaitu Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin
Ibrahim bin Almughirah bin Bardizbah Alju'fi Albukhari, - lazim disingkat
dengan Bukhari saja
-dan Abulhusain Muslim bin Alhajjaj bin Muslim Alqusyairi Annaisaburi, -
lazim disingkat
dengan Muslim saja - radhiallahu 'anhuma dalam kedua kitab masing-masing yang
keduanya itu adalah seshahih-shahihnya kitab Hadis yang dikarangkan.
Keterangan:
1. Orang-orang di
zaman Jahiliyah dulu jika menginginkan atau mengharapkan keridhaan Tuhan,
mereka embelihlah unta
sebagai kurban, lalu darah unta itu disapukan pada dinding Baitullah atau
Ka'bah. Kaum Muslimin hendak
meniru perbualan mereka itu, lalu turunlah ayat sebagaimana di atas.
2. Semua uraian yang
tertera antara -.... - adalah tambahan terjemahan dari kami sendiri untuk
memudahkan
pengertiannya
dan gampang memahamkannya. Harap Maklum 3. Saidina Umar bin
Khaththab r.a. itu adalah seorang khalifah dari golongan Rasyidin yang pertama
kali menggunakan
sebutan Amirul mu'minin pemimpin sekalian kaum mu'minin. Beliau adalah khalifah
kedua sepeninggal
Rasulullah s.a.w. Panggilan Amirul mu'minin itu lalu dicontoh dan diteruskan
oleh khalifah Usman dan Ali
radhiallahu 'anhuma, juga oleh para khalifah Bani Umayyah, Bani Abbas dan
selanjutnya. Jadi di zaman khalifah Abu
Bakar sebutan di atas belum digunakan. Adapun Abu Hafs itu adalah gelar
kehormatan bagi Sayidina Umar
r.a. Abu artinya bapak, sedang hafs artinya singa. Beliau r.a. memperoleh gelar
Bapak Singa, sebab memang
terkenal berani dalam segala hal, seperti dalam menghadapi musuh di medan
perang, dalam menegakkan
keadilan di antara seluruh rakyatnya dan tanpa pandang bulu dalam meneterapkan
hukuman kepada siapapun.
Ringkasnya yang salah pasti ditindakdengan keras, sedang yang teraniaya dibela
dan dilindungi.
Hadis di atas
adalah berhubungan erat dengan persoalan niat. Rasulullah s.a.w.menyabdakannya
itu ialah kerana di antara para sahabat Nabi s.a.w. sewaktu mengikuti untuk berhijrah
dari Makkah ke Madinah, semata-mata sebab terpikat oleh seorang wanitayakni Ummu Qais.
Beliau s.a.w. mengetahui maksudorang itu, lalu bersabda sebagaimana di atas.
Oleh kerana
orang itu memperlihatkan sesuatu yang bertentangan dengan maksud yang terkandung
dalam hatinya, meskipun sedemikian itu boleh saja, tetapi sebenarnya tidak patut sekali
sebab saat itu sedang dalam suasana yang amat genting dan rumit, maka ditegurlah
secara terang-terangan oleh Rasulullah s.a.w. Bayangkanlah,
betapa anehnya orang yang berhijrah dengan tujuan memburu wanita yang ingin
dikawin, sedang sahabat beliau s.a.w. yang lain-lain dengan tujuan menghindarkan
diri dari amarah kaum kafir dan musyrik yang masih tetap berkuasa di Makkah, hanya
untuk kepentingan penyebaran agama dan keluhuran Kalimatullah.
Bukankah
tingkah-laku manusia sedemikian itu tidak patut sama-sekali.
Jadi oleh sebab
niatnya sudah keliru, maka pahala hijrahnyapun kosong. Lain sekali dengan
sahabat-sahabat beliau s.a.w. yang dengan keikhlasan hati bersusah payah menempuh jarak
yang demikian jauhnya untuk menyelamatkan keyakinan kalbunya, pahalanyapun
besar sekali kerana hijrahnya memang dimaksudkan untuk mengharapkan keridhaan Allah
dan RasulNya. Sekalipun datangnya Hadis itu mula-mula tertuju pada
manusia yang
salah niatnya ketika ia mengikuti hijrah, tetapi sifatnya adalah umum. Para imam mujtahidin
berpendapat bahwa sesuatu amal itu dapat sah dan diterima serta dapat dianggap
sempurna apabila disertai niat. Niatitu ialah sengaja yang disembunyikan dalam hati, ialah
seperti ketika mengambil air sembahyang atau wudhu', mandi shalat dan lain-lain sebagainya.
Perlu pula kita
maklumi bahwa barangsiapaberniat mengerjakan suatu amalan yang bersangkutan
dengan ketaatan kepada Allah iamendapatkan pahala. Demikian pula jikalau seseorang itu
berniat hendak melakukan sesuatu yang baik, tetapi tidak jadi dilakukan, maka dalam hal ini
orang itupun tetap juga menerimapahala. Ini berdasarkan Hadis yang berbunyi:
"Niat
seseorang itu lebih baik daripada amalannya."
Maksudnya:
Berniatkan sesuatu yang tidak jadi dilakukan sebab adanya halangan yang tidak dapat
dihindarkan itu adalah lebih baik daripada sesuatu kelakuan yang benar-benar dilaksanakan,
tetapi tanpa disertai niat apa-apa.
Hanya saja dalam
menetapkan wajibnya niatatau tidaknya,agar amalan itu menjadi sah, maka ada
perselisihan pendapat para imam mujtahidin. Imam-imam Syafi'i,Maliki dan Hanbali
mewaibkan niat itu dalam segala amalan, baik yang berupa wasilah yakni perantaraan
seperti wudhu', tayammum dan mandi wajib, atau dalam amalan yang berupa maqshad (tujuan)
seperti shalat, puasa, zakat, haji dan umrah. Tetapi imam Hanafi hanya mewajibkan
adanya niat itu dalam amalan yangberupa maqshad atau tujuan saja sedang
dalam amalan
yang berupa wasilah atau perantaraan tidak diwajibkan dan sudah dianggap sah.
Adapun dalam
amalan yang berdiri sendiri, maka semua imam mujtahidin sependapat tidak
perlunya niat itu, misalnyadalam membaca al-Quran, menghilangkan najis dan lain-lain.
Selanjutnya
dalam amalan yang hukumnyamubah atau jawaz (yakni yang boleh dilakukan dan
boleh pula tidak), seperti makan-minum, maka jika disertai niat agar kuat beribadat serta
bertaqwa kepada Allah atau agar kuat bekerja untuk bekal dalam melakukan ibadat bagi
dirinya sendiri dan keluarganya, tentulah amalan tersebut mendapat pahala,sedangkan kalau
tidak disertai niat apa-apa, misalnya hanya supaya kenyang saja, maka kosonglah
pahalanya.
2. Dari Ummul
mu'minin yaitu ibunya - sebenarnya adalah bibinya - Abdullah yakni Aisyah
radhiallahu 'anha, berkata: Sayamendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Ada
sepasukan tentera yang hendak memerangi - menghancurkan - Ka'bah, kemudian setelah
mereka berada di suatu padangdari tanah lapang lalu dibenamkan-dalam tanah tadi
-dengan yang pertama sampai yang terakhir dari mereka semuanya."
Aisyah bertanya:
"Saya berkata, wahai Rasulullah, bagaimanakah semuanya dibenamkan dari
yang pertama sampai yang terakhir, sedang di antara mereka itu ada yang ahli pasaran -
maksudnya para pedagang - serta ada pula orang yang tidak termasuk
golongan mereka
tadi - yakni tidak berniat ikut menggempur Ka'bah?"
Rasulullah
s.a.w. menjawab: "Ya, semuanya dibenamkan dari yang pertama sampai yang terakhir,
kemudian nantinya mereka itu akan diba'ats - dibangkitkan dari masing-masing
kuburnya - sesuai niat-niatnya sendiri - untuk diterapi dosa atau tidaknya.
Disepakati atas
Hadis ini (Muttafaq 'alaih) - yakni disepakati keshahihannya oleh Imam Bukhari dan
Imam Muslim - Lafaz di atas adalah menurut Imam Bukhari.
Keterangan:
Sayidah Aisyah
diberi gelar Ummul mu'minin, yakni ibunya sekalian orang mu'min sebab beliau
adalah isteri Rasulullah s.a.w., jadi sudah sepatutnya. Beliau juga diberi nama ibu Abdullah
oleh Nabi s.a.w., sebenarnya Abdullah itu bukan puteranya sendiri, tetapi putera
saudarinya yang bernama Asma'. Jadi dengan Sayidah Aisyah, Abdullah itu adalah kemanakannya.
Adapun beliau ini sendiri tidak mempunyai seorang puterapun.
Dari uraian yang
tersebut dalam Hadis ini, dapat diambil kesimpulan bahwa seseorang yang
shalih, jika berdiam di lingkungan suatu golongan yang selalu berkecimpung dalam
kemaksiatan dan kemungkaran, maka apabila Allah Ta'ala mendatangkan azab atau siksa kepada
kaum itu, orang shalih itupunpasti akan terkena pula. Jadi Hadis ini mengingatkan
kita semua agar jangan sekali-kali bergaul dengan kaum yang ahli
kemaksiatan,
kemungkaran dan kezaliman.
Namun demikian
perihal amal perbuatannya tentulah dinilai sesuai dengan niat yang terkandung dalam
hati orang yang melakukannya itu.
Mengenai gelar
Ummul mu'minin itu bukan hanya khusus diberikan kepada Sayidah Aisyah
radhiallahu 'anha belaka, tetapi juga diberikan kepada para isteri Rasulullah
s.a.w. yang lain-lain.
3. Dari Aisyah
radhiallahu 'anha, berkata: Nabi s.a.w. bersabda: "Tidak ada hijrah setelah
pembebasan - Makkah - 4. , tetapi yang
ada ialah jihad dan niat. Maka dari itu, apabila
4.1. Sabda Rasulullah
s.a.w.: "Tidak ada hijrah setelah pembebasan - Makkah," oleh para
alim-ulama dikatakan bahwa mengenai
hijrah dari daerah harb atau perang yang dikuasai oleh orang kafir ke Darul
Islam, yakni daerah yang
dikuasai oleh orang-orang Islam adalah tetap ada sampai hari kiamat. Oleh sebab
itu Hadis di atas diberikan
penakwilannya menjadi dua macam:
Pertama: Tiada hijrah
setelah dibebaskannya Makkah, sebab sejak saat itu Makkah telah menjadi
sebagian dari
Darul Islam atau Negara Islam, jadi tidak mungkin lagi akan terbayang tentang
adanya hijrah setelah itu.
Kedua: Inilah
yang merupakan pendapat tershahih, yaitu yang diartikan bahwa hijrah yang
dianggap
mulia yang
diluntut, yang pengikutnya itu memperoleh keistimewaan yang nyata itu sudah
terputus sejak
engkau semua
diminta untuk keluar - oleh imamuntuk berjihad, - maka keluarlah – yakni berangkatlah."
(Muttafaq 'alaih)
Maknanya: Tiada
hijrah lagi dari Makkah,sebab saat itu Makkah telah menjadi
perumahan atau
Negara Islam.
4. Dari Abu
Abdillah yaitu Jabir bin Abdullah al-Anshari radhiallahu'anhuma, berkata:
Kita berada beserta
Nabi s.a.w. dalam suatu peperangan - yaitu perang Tabuk - kemudian
beliau s.a.w.
bersabda:
"Sesungguhnya
di Madinah itu ada beberapaorang lelaki yang engkau semua tidak
menempuh suatu
perjalanan dan tidak pula menyeberangi suatu lembah, melainkan orang-orang tadi
ada besertamu - yakni sama-sama memperoleh pahala - mereka itu terhalang oleh
sakit -
maksudnya andaikata tidak sakit pasti ikut berperang."
Dalam suatu
riwayat dijelaskan: "Melainkan mereka - yang tertinggal itu - berserikat
denganmu dalam hal
pahalanya." (Riwayat Muslim)
Hadis
sebagaimana di atas, juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Anas r.a.,
Rasulullah
s.a.w. bersabda:
"Kita
kembali dari perang Tabuk beserta Nabi s.a.w., lalu beliau bersabda:
"Sesungguhnya
ada beberapa kaum yang kita tinggalkan di Madinah, tiada menempuh kita
sekalian akan sesuatu lereng ataupun lembah,melainkan mereka
itu bersama-sama
dengan kita jua -jadi memperoleh pahala seperti yang berangkat untuk berperang itu -
mereka itu terhalang oleh sesuatu keuzuran."
5. Dari Abu
Yazid yaitu Ma'an bin Yazid bin Akhnas radhiallahu 'anhum. Ia, ayahnya dan neneknya
adalah termasuk golongan sahabat semua. Kata saya: "Ayahku, yaitu Yazid mengeluarkan
beberapa dinar yang dengannya ia bersedekah, lalu dinar-dinar itu ia letakkan di sisi
seseorang di dalam masjid.
Saya - yakni
Ma'an anak Yazid - datang untuk mengambilnya, kemudian saya menemui ayahku
dengan dinar-dinar tadi. Ayah berkata: "Demi Allah, bukan engkau yang kukehendaki -
untuk diberi sedekah itu."
Selanjutnya hal
itu saya adukan kepada Rasulullah s.a.w., lalu beliau bersabda:
"Bagimu
adalah apa yang engkau niatkan hai Yazid – yakni bahwa engkau telah memperoleh
pahala sesuai dengan niat sedekahmu itu - sedang bagimu adalah apa yang engkau ambil,
hai Ma'an - yakni bahwa engkau boleh terus memiliki dinar-dinar tersebut, kerana juga
sudah diizinkan oleh orang yang ada di masjid, yang dimaksudkan oleh Yazid tadi."
(Riwayat Bukhari)
dibebaskannya
Makkah dan sudah lampau pula untuk mereka yang ikut berhijrah sebelum dibebaskannya
Makkah itu,
sebab dengan dibebaskan Makkah itu, Islam boleh dikata telah menjadi kokoh kuat
dan perkasa, yakni suatu
kekuatan dan keperkasaan yang nyata. Jadi lain sekali dengan sebelum
dibebaskannya Makkah tersebut.
Adapun sabda
beliau s.a.w. yang menyebutkan: "Tetapi yang ada adalah jihad dan
niat," maksudnya
ialah bahwa
diperolehnya kebaikan dengan sebab hijrah itu telah terputus dengan
dibebaskannya Makkah itu, tetapi sekalipun
demikian masih pula dapat dicapai kebaikan tadi dengan berjihad dan niat yang
shalih. Dalam Hadis di atas
jelas diuraikan adanya perintah untuk suka berniat dalam melakukan kebaikan
secara mutlak dan bahwa yang
berniat itu sudah dapat memperoleh pahala dengan hanya keniatannya itu belaka.
5 Syi'ib (lereng)
yangdimaksudkan di sini ialah jalan didaerah pegunungan, sedang Wadi (lembah)
ialah tempat yang di situ ada
airnya mengalir.
6. Dari Abu
Ishak, yakni Sa'ad bin Abu Waqqash, yakni Malik bin Uhaib bin Abdu Manaf bin Zuhrah
bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Luai al-Qurasyi az-Zuhri r.a., yaitu salah satu dari
sepuluh orang yang diberi kesaksian akan memperoleh syurga radhiallahu 'anhum, katanya:
Rasulullah
s.a.w. datang padaku untuk menjengukku pada tahun haji wada' - yakni haji Rasulullah
s.a.w. yang terakhir dan sebagai haji pamitan - kerana kesakitan yang menimpa diriku,
lalu saya berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnya saja kesakitanku ini telah mencapai
sebagaimana keadaan yang Tuan ketahui, sedang saya adalah seorang yang berharta dan
tiada yang mewarisi hartaku itu melainkan seorang puteriku saja. Maka itu apakah
dibenarkan sekiranya saya bersedekah dengan dua pertiga hartaku?" Beliau menjawab:
"Tidak dibenarkan." Saya berkata pula: "Separuh hartaku ya
Rasulullah?" Beliau bersabda:
"Tidak dibenarkan juga." Saya berkata lagi: "Sepertiga,
bagaimana ya Rasulullah?"
Beliau lalu
bersabda: "Ya, sepertiga boleh dan sepertiga itu sudah banyak atau sudah
besar jumlahnya.
Sesungguhnya jikalau engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya-kaya, maka
itu adalah lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin
meminta-minta pada orang banyak. Sesungguhnya tiada sesuatu nafkah yang engkau
berikan dengan niat untuk mendapatkan keridhaan Allah, melainkan engkau pasti akan
diberi pahalanya, sekalipun sesuatu yang engkau berikan untuk makanan
isterimu."
Abu Ishak
meneruskan uraiannya: Saya berkata lagi: "Apakah saya ditinggalkan - di Makkah - setelah
kepulangan sahabat-sahabatku itu?" Beliau menjawab: "Sesungguhnya engkau itu tiada
ditinggalkan, kemudian engkau melakukan suatu amalan yang engkau maksudkan untuk
mendapatkan keridhaan Allah, melainkan engkau malahan bertambah derajat dan
keluhurannya. Barangkali sekalipun engkau ditinggalkan - kerana usia masih panjang lagi -,
tetapi nantinya akan ada beberapa kaum yang dapat memperoleh kemanfaatan dari
hidupmu itu - yakni sesamakaum Muslimin, baik manfaat duniawiyah atau ukhrawiyah
- dan akan ada kaum lain-lainnya yang memperoleh bahaya dengan sebab masih hidupmu
tadi - yakni kaum kafir, sebab menurut riwayat Abu Ishak ini tetap hidup sampai
dibebaskannya Irak dan lain-lainnya, lalu diangkat sebagai gubernur di situ dan menjalankan hak
dan keadilan.
Ya Allah,
sempurnakanlah pahala untuk sahabat-sahabatku dalam hijrah mereka itu dan janganlah
engkau balikkan mereka pada tumit-tumitnya - yakni menjadi murtad kembali sepeninggalnya
nanti.
Tetapi yang
miskin - rugi - itu ialah Sa'ad bin Khaulah.”
Rasulullah
s.a.w. merasa sangat kasihan padanya sebab matinya di Makkah.
(Muttafaq
'alaih)
Keterangan:
Sa'ad bin
Khaulah itu dianggap sebagai orang yang miskin dan rugi, kerana menurut riwayat ia tidak
mengikuti hijrah dari Makkah, jadi rugi kerana tidak ikutnya hijrah tadi.
Sebagian riwayat
yang lain mengatakan bahwa ia sudah mengikuti hijrah, bahkan pernah mengikuti perang
Badar pula, tetapi akhirnya iakembali ke Makkah dan terus wafat di situ sebelum
dibebaskannya Makkah saat itu. Maka ruginya ialah kerana lebih sukanya kepada Makkah sebagai
tempat akhir hayatnya, padahal masih di bawah kekuasaan kaum kafir. Ada lagi riwayat
yang menyebutkan bahwa ia pernah pula mengikuti hijrah ke Habasyah, mengikuti pula
perang Badar, kemu-dian mati di Makkah pada waktu haji wada' tahun 10, ada lagi yang
meriwayatkan matinya itu pada tahun 7 di waktu perletakan senjata antaraku Muslimin
dan kaum kafir. Jadi kerugiannya disini ialah kerana ia mati di Makkah itu, kerana
kehilangan pahala yang sempurna yakni sekiranya ia mati di Madinah, tempat ia berhijrah yang
dimaksudkan semata-mata sebab Allah Ta'ala belaka.
7. Dari Abu
Hurairah, yaitu Abdur Rahman bin Shakhr r.a., katanya: Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Sesungguhnya
Allah Ta'ala itu tidak melihat kepada tubuh-tubuhmu, tidak pula kepada bentuk
rupamu, tetapi Dia melihat kepada hati-hatimu sekalian." (Riwayat Muslim)
8. Dari Abu
Musa, yakni Abdullah bin Qais al-Asy'ari r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w.
ditanya perihal
seseorang yang berperang dengan tujuan menunjukkan keberanian, ada lagi yang berperang
dengan tujuan kesombongan - ada yang artinya kebencian - ada pula yang berperang dengan
tujuan pameran - menunjukkan pada orang-orang lain kerana ingin berpamer.
Manakah di antara semua itu yang termasuk dalam jihad fi-sabilillah?
Rasulullah
s.a.w. menjawab:
"Barangsiapa
yang berperang dengan tujuan agar kalimat Allah - Agama Islam - itulah yang luhur, maka
ia disebut jihad fi-sabilillah." (Muttafaq 'alaih)
Keterangan:
Hadis di atas
dengan jelas menerangkan semua amal perbuatan itu hanya dapat dinilai baik, jika baik
pula niat yang terkandung dalam hati orang yang melakukannya.
Selain itu
dijelaskan pula bahwa keutamaan yang nyata bagi orang-orang yang berjihad melawan
musuh di medan perang itu semata-mata dikhususkan untuk mereka yang berjihad
fisabilillah, yakni tiada maksud lain kecuali untuk meluhurkan kalimat Allah,
yaitu Agama Islam.
9. Dari Abu
Bakrah, yakni Nufai' bin Haris as-Tsaqafi r.a. bahwasanya Nabi s.a.w.
bersabda:
"Apabila
dua orang Muslim berhadap-hadapan dengan membawa masing-masing pedangnya -
dengan maksud ingin berbunuh-bunuhan - maka yang membunuh dan yang terbunuh itu
semua masuk di dalam neraka."
Saya bertanya:
"Ini yang membunuh - patut masuk neraka -tetapi bagaimanakah halnya orang
yang terbunuh - yakni mengapa ia masuk neraka pula?"
Rasulullah
s.a.w. menjawab:
"Kerana
sesungguhnya orang yang terbunuh itu juga ingin sekali hendak membunuh kawannya."
(Muttafaq 'alaih) 10. Dari Abu
Hurairah r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Shalatnya
seseorang lelaki dengan berjamaah itu melebihi shalatnya di pasar atau rumahnya -
secara sendirian atau munfarid - dengan duapuluh lebih - tiga sampai sembilan tingkat
derajatnya. Yang sedemikian itu ialah kerana apabila seseorang itu berwudhu'
dan memperbaguskan
cara wudhu'nya, kemudian mendatangi masjid, tidak menghendaki ke masjid itu
melainkan hendak bersembahyang, tidak pula ada yang menggerakkan kepergiannya ke
masjid itu kecuali hendak shalat, maka tidaklah ia melangkahkan kakinya
selangkah
kecuali ia dinaikkan tingkatnya sederajat dan kerana itu pula dileburlah satukesalahan
daripadanya - yakni tiap selangkah tadi - sehingga ia masuk masjid.
Apabila ia telah
masuk ke dalam masjid, maka ia memperoleh pahala seperti dalam keadaan shalat,
selama memang shalat itu yang menyebabkan ia bertahan di dalam masjid tadi, juga para
malaikat mendoakan untuk mendapatkan kerahmatan Tuhan pada seseorang dari engkau
semua, selama masih berada di tempat yang ia bersembahyang disitu. Para malaikat itu berkata:
"Ya Allah, kasihanilah orang ini; wahai Allah, ampunilah ia; ya Allah, terimalah
taubatnya." Hal sedemikian ini selamaorang tersebut tidak berbuat buruk
-yakni berkata-kata
soal keduniaan, mengumpat orang lain, memukul dan lain-lain - dan juga selama ia tidak
berhadas - yakni tidak batal wudhu'nya.
Muttafaq 'alaih.
Dan yang tersebut di atasadalah menurut lafaznya Imam Muslim.
Sabda Nabi
s.a.w.: Yanhazudengan fathahnya ya' dan ha' serta dengan menggunakan zai, artinya:
mengeluarkannya dan menggerakkannya.
11. Dari Abul
Abbas, yaitu Abdullah bin Abbas bin Abdul Muththalib, radhiallahu 'anhuma dari
Rasulullah s.a.w. dalam suatu uraian yang diceriterakan dari Tuhannya Tabaraka wa
Ta'ala - Hadis semacam ini disebut Hadis Qudsi - bersabda: "Sesungguhnya
Allah Ta'ala itu mencatat semua kebaikan dan keburukan, kemudian
menerangkan yang
sedemikian itu - yakni mana-mana yang termasuk hasanah dan mana-mana yang
termasuk sayyiah.
Maka barangsiapa
yang berkehendak mengerjakan kebaikan, kemudian tidak jadi melakukannya,
maka dicatatlah oleh Allah yang Maha Suci dan Tinggi sebagai suatu kebaikan yang
sempurna di sisiNya, dan barangsiapa berkehendak mengerjakan kebaikan itu kemudian jadi
melakukannya, maka dicatatlaholeh Allah sebagai sepuluh kebaikan di sisiNya, sampai
menjadi tujuh ratus kali lipat, bahkan dapat sampai menjadi berganda-ganda yang amat banyak
sekali.
Selanjutnya
barangsiapa yang berkehendak mengerjakan keburukan kemudian tidak jadi
melakukannya maka dicatatlah oleh Allah Ta'ala
sebagai suatu kebaikan yang sempurna di sisiNya dan barangsiapa yang
berkehendak
mengerjakan keburukan itu kemudian jadi melakukannya, maka dicatatlah oleh Allah Ta'ala
sebagai satu keburukan saja di sisiNya." (Muttafaq 'alaih)
Keterangan:
Hadis di atas
menunjukkan besarnya kerahmatan Allah Ta'ala kepada kita semua sebagai ummatnya
Nabi Muhammad s.a.w.
Renungkanlah
wahai saudaraku. Semoga kamidan anda diberi taufik (pertolongan) oleh Allah
hingga dapat menginsafi kebesaran belas-kasihan Allah dan fikirkanlah kata-kata ini.
Ada perkataan
Indahuu (bagiNya), inilah suatu tanda kesungguhan Allah dalam memperhatikannya
itu.
Juga ada
perkataan kaamitah (sempurna), ini adalah untuk mengokohkan artinya dan sangat perhatian
padanya.
Dan Allah
berfirman di dalam kejahatan yang disengaja (di-maksud) akan dilakukan, tetapi tidak
jadi dilakukan, bagi Allah ditulis menjadi satu kebaikan yang sempurna dikokohkan
dengan kata-kata "sempurna". Dan kalau jadi dilakukan, ditulis oleh
Allah "satu Riyadhus
Shalihin – Taman Orang-orang Shalih
kejahatan
saja" dikokohkan dengan kata-kata "satu saja" untuk menunjukkan
kesedikitannya, dan tidak
dikokohkan dengan kata-kata "sempurna".
Maka bagi Allah
segenap puji dan karunia. Maha Suci Allah, tidak dapat kita menghitung
pujian atasNya. Dan denganAllah jualah adanya pertolongan.
12. Dari Abu
Abdur Rahman, yaitu Abdullahbin Umar bin al-Khaththab radhiallahu 'anhuma,
katanya: Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Ada tiga
orang dari golongan orang-orang sebelummu sama berangkat bepergian, sehingga terpaksalah
untuk menempati sebuahgua guna bermalam, kemudian merekapun memasukinya.
Tiba-tiba jatuhlah sebuah batu besar dari gunung lalu menutup gua itu atas mereka. Mereka
berkata bahwasanya tidak ada yang dapat menyelamatkan engkau semua dari batu besar
ini melainkan jikalau engkau semua berdoa kepada Allah Ta'ala dengan menyebutkan
perbuatanmu yang baik-baik.
Seorang dari
mereka itu berkata: "Ya Allah. Saya mempunyai dua orang tua yang sudah tua-tua
serta lanjut usianya dan saya tidak pernah memberi minum kepada siapapun sebelum keduanya
itu, baik kepada keluarga ataupun hamba sahaya. Kemudian pada suatu hari amat
jauhlah saya mencari kayu - yang dimaksud daun-daunan untuk makanan ternak.
Saya belum lagi
pulang pada kedua orang tua itu sampai mereka tertidur. Selanjutnya sayapun terus
memerah minuman untuk keduanyaitu dan keduanya saya temui telah tidur.
Saya enggan
untuk membangunkan merekaataupun memberikan minuman kepada seseorang
sebelum keduanya, baik pada keluarga atau hamba sahaya. Seterusnya saya tetap dalam keadaan
menantikan bangun mereka itu terus-menerus dan gelas itu tetap pula di tangan saya,
sehingga fajarpun menyingsinglah, Anak-anak kecil sama menangis kerana kelaparan dan
mereka ini ada di dekat kedua kaki saya. Selanjutnya setelah keduanya bangun lalu
mereka minum minumannya. Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang sedemikian itu
dengan niat benar-benar mengharapkan keridhaanMu, maka lapanglah kesukaran yang
sedang kita hadapi dari batu besar yang menutup ini." Batu besar itu
tiba-tiba membuka sedikit, tetapi mereka belum lagi dapat keluar dari gua.
Yang lain
berkata: "Ya Allah, sesungguhnya saya mempunyai seorang anak paman wanita - jadi
sepupu wanita - yang merupakan orang yang tercinta bagiku dari sekalian manusia - dalam
sebuah riwayat disebutkan: Saya mencintainya sebagai kecintaan orang-orang
lelaki yang amat sangat kepada wanita - kemudian saya menginginkan dirinya,
tetapi ia menolak
kehendakku itu, sehingga pada suatu tahun ia memperoleh kesukaran. lapun mendatangi
tempatku, lalu saya memberikan seratus duapuluh dinar padanya dengan syarat ia suka
menyendiri antara tubuhnya dan antara tubuhku -maksudnya suka dikumpuli dalam
seketiduran. Ia
berjanji sedemikian itu. Setelah saya dapat menguasai dirinya - dalam sebuah riwayat lain
disebutkan: Setelah saya dapat duduk di antara kedua kakinya - sepupuku itu lalu berkata:
"Takutlah engkau pada Allah dan jangan membuka cincin - maksudnya cincin di sini adalah
kemaluan, maka maksudnya ialah jangan melenyapkan kegadisanku ini - melainkan dengan
haknya - yakni dengan perkawinan yang sah -, lalu sayapun meninggalkannya,
sedangkan ia adalah yang amattercinta bagiku dari seluruh manusia dan emas yang saya
berikan itu saya biarkan dimilikinya. Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang sedemikian dengan
niat untuk mengharapkan keridhaanMu, maka lapangkanlah kesukaran yang
sedang kita hadapi ini." Batubesar itu kemudian membuka lagi, hanya saja mereka masih
juga belum dapat keluar dari dalamnya.
Orang yang
ketiga lalu berkata: "Ya Allah,saya mengupah beberapa kaum buruh dan semuanya telah
kuberikan upahnya masing-masing, kecuali seorang lelaki. Ia meninggalkan upahnya dan
terus pergi. Upahnya itu saya perkembangkan sehingga ber-tambah banyaklah Riyadhus
Shalihin – Taman Orang-orang Shalihhartanya tadi.
Sesudah beberapa waktu, pada suatu hari ia mendatangi saya, kemudian berkata: Hai
hamba Allah, tunaikanlah sekarang upahku yang dulu itu. Saya berkata: Semua yang engkau
lihat ini adalah berasal dari hasil upahmu itu, baik yang berupa unta, lembu dan kambing dan
juga hamba sahaya. Ia berkata: Hai hamba Allah, janganlah engkau memperolok-olokkan
aku. Saya menjawab: Saya tidak memperolok-olokkan engkau.
Kemudian orang
itupun mengambil segala yang dimilikinya. Semua digiring dan tidak seekorpun yang
ditinggalkan. Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang sedemikian ini dengan niat
mengharapkan keridhaanMu, maka lapangkanlah kita dari kesukaran yang sedang kita
hadapi ini." Batu besar itu lalu membuka lagi dan merekapun keluar dari
gua itu. (Muttafaq 'alaih)
Keterangan:
Ada beberapa
kandungan yang penting-penting dalam Hadis di atas, yaitu:
(a) Kita
disunnahkan berdoa kepada Allah di kala kita sedang dalam keadaan yang sulit,
misalnya mendapatkan malapetaka, kekurangan rezeki dalam kehidupan, sedang sakit dan
lain-lain.
(b) Kita
disunnahkan bertawassul dengan amal perbuatan kita sendiri yang shalih, agar kesulitan
itu segera lenyap dan diganti dengan kelapangan oleh Allah Ta'ala.
Bertawassul
artinya membuat perantaraan dengan amal shalih itu, agar permohonan kita dikabulkan
olehNya. Bertawassul dengan cara seperti ini tidak ada seorang ulamapun yang tidak
membolehkan. Jadi beliau-beliau itu sependapat tentang bolehnya.
Juga tidak
diperselisihkan oleh para alim-ulama perihal bolehnya bertawassul dengan orang shalih
yang masih hidup, sebagai-mana yang dilakukan oleh Sayidina Umar r.a. dengan
bertawassul kepada Sayidina Abbas, agar hujan segera diturunkan.
Yang
diperselisihkan ialah jikalau kita bertawassul dengan orang-orang shalih yang sudah wafat,
maksudnya kita memohonkan sesuatu kepada Allah Ta'ala dengan perantaraan beliau-beliau
yang sudah di dalam kubur agar ikut membantu memohonkan supaya doa kita dikabulkan.
Sebagian alim-ulama ada yangmembolehkan dan sebagian lagi tidak membolehkan.
Jadi bukan
orang-orang shalih itu yang dimohoni, tetapi yang dimohoni tetap Allah Ta'ala jua,
tetapi beliau-beliau dimohon untuk ikut membantu mendoakan saja. Kalau yang dimohoni itu
orang-orang yang sudah mati, sekalipun bagaimana juga shalihnya, semua alim-ulama Islam
sependapat bahwa perbuatan sedemikian itu haramhukumnya. Sebab hal itutermasuksyirikatau
menyekutukan sesuatu dengan Allah Ta'ala yang Maha Kuasa Mengabulkan
segala permohonan.
Namun demikian
hal-hal seperti di atas hanya merupakan soal-soal furu'iyah (bukan akidah pokok),
maka jangan hendaknya menyebabkan retaknya persatuan kita kaum Muslimin.